pojokdepok.com -, Selama dua dekade pasca reformasi, Indonesia dianggap sebagai salah satu negara demokrasi terbesar yang relatif stabil dalam jangka waktu cukup panjang. Tidak hanya di Asia tetapi juga dalam perspektif komparatif global.
Namun demikian, pencapaian tersebut kini menemui jalan liku bahkan dihadapkan pada masalah kompleks.
Pengamat Politik Citra Institute Yusa’ Farchan menilai, stagnasi atau perlambatan demokrasi Indonesia salah satunya disebabkan karena proses demokrasi telah dibajak oleh kekuatan oligarki.
“Salah satu problem demokrasi kita saat ini adalah kegagalannya dalam menghasilkan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas dari korupsi. Ini terjadi karena sistem demokrasi yang kita bangun lebih berorientasi pada institusionalisasi lembaga-lembaga demokrasi ketimbang pembentukan karakter para aktor demokrasi dan penyelenggara negara. Meskipun pemilu berlangsung bebas dan dianggap demokratis, korupsi politik justru tumbuh subur. Panggung demokrasi akhirnya dikuasai para oligarki,” ujar Yusa’.
Hal itu dia sampaikan dalam Webinar dan Bedah Buku “Demokrasi, Pemilu dan Politik Uang” yang digelar oleh Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kabupaten Kuningan, Jawa Barat secara daring, Selasa (9/11/2021).
Yusa’ menambahkan dari pemilu ke pemilu pasca reformasi nyaris tidak ada progres signifikan dalam menyambut hadirnya musim elektoral kecuali sebatas bagaimana elite politik memperebutkan dan mempertahankan kekuasaannya.
Politik akhirnya hanya menjadi sekedar soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana tanpa dibarengi dengan pembaharuan konsep reinventing masa depan Indonesia dan penguatan sistemik terhadap pilar-pilar penting demokrasi.
Dalam forum yang dihadiri ratusan peserta dari seluruh Indonesia ini, Puadi, penulis buku “Demokrasi, Pemilu dan Politik Uang” yang juga anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa Bawaslu sebagai leading sector penegakan pelanggaran pemilu tentu punya peran sangat strategis dalam menjaga berlangsungnya pemilu bersih dan berkualitas.
Terkait dengan maraknya politik uang pada momentum pemilu dan pilkada, Puadi mengharapkan agar masyarakat turut pro aktif melaporkan jika mendapatkan dugaan pelanggaran pemilu.
“Jadi masyarakat harus peka dan pro aktif memberikan informasi awal kepada penyelenggara pemilu (panwaslu) agar kasus tersebut bisa segera diproses,” ungkapnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI, Achmad Baidhowi mengatakan, meskipun demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, tetapi harus diakui bahwa kran reformasi yang dibuka sejak 1998 tetap membawa kemajuan signifikan bagi perbaikan sistem politik Indonesia.
“Di era pemilu seperti ini, siapapun, bagi rakyat, punya peluang yang sama untuk menjadi anggota DPR. Seperti saya yang berangkat dari kalangan aktifis, kalangan santri. Kalau tidak ada reformasi, mungkin saya tidak bisa menjadi anggota DPR, karena mungkin kalau di partai politik dulu dengan sistem nomor urut, mungkin saya sebagai new comers akan mendapatkan nomor urut yang terakhir. Tapi alhamdulillah hari ini kita menikmati suasana demokrasi sebagai imbas dari reformasi yang menyebabkan kader-kader terbaik bangsa bisa memiliki hak yang sama untuk bisa dipilih dan memilih,” ujar legislator asal Fraksi PPP tersebut.
Ketua KIPP Kuningan Zaka Viryan dalam paparannya mengatakan, forum bedah buku ini merupakan bagian dari upaya melanggengkan tradisi kritisisme sekaligus memberikan cakrawala pengetahuan baru terkait potret perkembangan demokrasi Indonesia khususnya yang berkaitan dengan isu-isu penyelenggaraan pemilu sebagai mekanisme formal demokrasi.[]