Presidential Threshold 0 Persen Wujud Demokrasi Berkeadilan

pojokdepok.com -, Presidential threshold 0 persen yang disuarakan Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mulai membuahkan hasil. Dukungan terus mengalir untuk menghapus presidential threshold 20 persen. 

Kali ini dukungan datang dari Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia (BMIWI). Wasekjen BMIWI, Eneng Humairoh, menegaskan, mendukung penuh wacana presidential threshold 0 persen.

“Presidential threshold 0 persen merupakan wujud dari demokrasi berkeadilan,” katanya, Minggu (19/12/2021).

Dikatakan Eneng, sebagai wakil dari federasi ormas Islam wanita, BMIWI sepakat dengan penetapan ambang batas 0 persen. Katanya, selain kebijakan yang tertuang di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengerdilkan nilai-nilai demokrasi, ia juga mengebiri kepemimpinan nasional. 

“Arogansi menjadi otoritas dalam menetapkan calon pemimpin. Sedangkan pluralitas bangsa tidak mungkin terwakili oleh kehendak salah satu partai politik. Sebab faktanya, banyak suara terbuang pada saat Pilpres karena dinilai calon pemimpin tidak ada yang layak untuk dipilih,” tegas dia.

Untuk melawan arogansi dalam politik, Eneng menilai Indonesia memerlukan sosok yang berani dalam menyuarakan kebenaran. Sosok yang memiliki kekuatan yang berimbang, independen serta memilih jalan radikal dalam menyampaikan gagasan. 

“Memang kita tidak atau belum dapat membayangkan jika tidak ada yang segencar dan sekonsisten LaNyalla dalam menggaungkan isu nol Persen presidential threshold. Demokrasi hanya akan menjadi milik sebagian elit politik partai-partai besar. Dan 20 persen presidential threshold tentu dapat melenggang tanpa hambatan pada Pilpres 2024 yang akan datang,” tutur Eneng.

Dikatakannya, bunyi pasal yang dapat memberangus munculnya pemimpin yang diharapkan rakyat terletak pada pasal 222 UU Pemilu. 

Dalam aturan tersebut dijelaskan, “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.”