HNW: Pancasila Bukti Kedekatan Hubungan Antara Agama dan Negara

pojokdepok.com – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid menegaskan, Pancasila merupakan ideologi dan dasar Negara Indonesia. Penetapan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara disepakati oleh Bapak-Bapak Bangsa sebagai ikatan legal konstitusional. 

Kesepakatan menerima Pancasila, kata dia, juga bermakna mengesahkan kokoh kuatnya hubungan antara agama dan negara di Indonesia. Sehingga upaya untuk menafikan atau membenturkan keduanya, merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan konstitusi dan kenegarawanan Bapak-Bapak Bangsa saat menyepakati Pancasila dengan Sila Pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai Dasar dan Ideologi Negara Indonesia Merdeka. 

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dinyatakan oleh Bung Hatta sebagai prinsip spiritual yang terus mengilhami dan menerangi. Sedangkan sila kedua hingga kelima memiliki kandungan nilai sosial-ekonomi-politiknya. 

Konstruksi Pancasila yang dimulai dengan nilai Spiritual, itu menurut Hidayat merupakan kesepakatan final para Bapak Bangsa pada 18 Agustus 1945 yang terhimpun dalam PPKI. Anggota yang terhimpun dalam PPKI adalah tokoh-tokoh Nasionalis Kebangsaan seperti Bung Karno, Bung Hatta, Prof Soepomo. Juga Nasionalis Keagamaan muslim seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimejo, Mr Teuku Muhammad Hasan. Serta Nasionalis Keagamaan non Muslim seperti J Latuharhari, GSJ Sam Ratulangi, dan I Goesti Ketoet Poedja.

Kesepakatan para Bapak Bangsa, itu tidak hanya diletakkan di Pancasila, namun juga pada batang tubuh UUD NRI 1945.  Yakni Bab XI pasal 29 ayat 1 bahwa; Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Bukti nyata lainnya terkait diterimanya hubungan agama dan negara adalah penggunaan kata serapan dari bahasa arab yaitu bahasa yang dipergunakan dalam rujukan Agama Islam. Semua itu ada dalam Pancasila sila ke-2 (adil, adab), sila ke-4 (rakyat, hikmat, musyawarat, wakil), dan ke-5 (adil, rakyat). Dalam alinea ke tiga pembukaan UUD 1945 juga ada ungkapan “berkat, rahmat, Allah, rakyat”, itu semua serapan dari bahasa Arab. 

“Memang bukan berarti Negara Indonesia berdasarkan Agama tertentu, tetapi pasti Republik Indonesia juga bukan negara Sekuler apalagi Atheis/Komunis yang anti Agama. Bahkan dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah “atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”. Sebuah ungkapan religius pada dokumen politik yang memposisikan Indonesia Merdeka bukanlah dengan semangat sekularisme, liberalisme, apalagi ateisme, komunisme, dan anti Agama,” ujar Hidayat Nur Wahid saat memberikan Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada keluarga besar PKS di Tanah Abang, Jakarta.

Menurut Dr Radjiman Wedjodiningrat, Ketua BPUPK, kata Hidayat pernyataan dalam alinea ke 3 Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan UUD 1945, merupakan kesepakatan yang diterima oleh BPUPK pasca sidang mereka yang ke dua pada tanggal 14 Juli 1945. 

Karena itu menafikan bahkan melarang atau mengkriminalkan hubungan antara Beragama dan Bernegara, serta memojokkan (banyaknya) Bahasa Arab sebagai ciri terorisme maupun radikalisme, adalah laku melupakan bahkan memanipulasi sejarah. Sikap tersebut bahkan memiliki makna menebar  saling curiga dan bisa jadi pintu besar meretakkan kesatu-paduan Bangsa. 

Sebab, perilaku yang demikian itu tidak merawat dan melaksanakan warisan kenegarawanan yang telah disepakati dan dipraktikkan oleh Bapak-Bapak Bangsa di Panitia Sembilan, BPUPK, dan PPKI. Karena dengan latar afiliasi politik dan beragama yang beragam-ragam, itu mereka berkompromi menghadirkan NKRI dengan mengakui hubungan yang menyatu antara beragama dan bernegara.