Indonesia Tak Layak Jadi ‘Ekor’ Dalam Polarisasi Dunia

pojokdepok.com -, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah menegaskan Indonesia tidak layak menjadi ‘ekor’ dalam  konflik maupun polarisasi yang terjadi di dunia. 

Fahri mengatakan Indonesia adalah negara yang didesain untuk berada di tengah-tengah, baik secara geografis, maupun secara value (nilai). 

“Karena itu, Indonesia lebih cocok menjadi pemimpin,” katanya dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Perebutan Pengaruh di Kawasan Pasca Kapitulasi AS dari  Afghanistan”, Jumat (17/12/2021). 

“Saat ini, bila merujuk pada buku Samuel Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order, telah terjadi konflik peradaban, antara peradaban Barat dengan Non-Barat, dalam hal ini Tiongkok atau Konfusian serta Islam,” ungkap Fahri.

“Konflik antara Barat dan Tiongkok, lebih kepada konflik spiritual. Tapi konflik Barat dan Islam, bernuansa spiritual,” tambah mantan ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia itu. 

Dan Indonesia, lanjut Fahri, berada di tengah-tengah seluruh kutub itu dari segala segi.  Indonesia adalah negeri Muslim terbesar di dunia. Indonesia, ujar Fahri, adalah salah satu negara demokrasi terbesar di dunia pula. 

“Sehingga Indonesia bisa menjadi pemimpin di kalangan negara-negara Muslim, sekaligus juga menjadi pemimpin di negara-negara demokrasi,” kata Fahri. 

Bbila dikaitkan dengan perebutan pengaruh antara pakta militer baru Australia, Inggris, dan AS (AUKUS) dengan China, menurut Fahri, Indonesia harus menolak menjadi ekor, tetapi tetap menjadi pemimpin. 

Pada kesempatan sama, pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menyatakan, Indonesia memang selayaknya menganut politik luar negeri bebas aktif dalam konstelasi politik dunia. 

Dengan begitu, Indonesia selalu netral dalam konflik maupun polarisasi di dunia. Lagi pula Indonesia juga bisa bersahabat dengan negara manapun. 

“Ketika Indonesia sudah diganggu kepentingan nasionalnya, maka kita harus berhadapan dengan siapapun pengganggu itu,” ujarnya 

Hikmahanto mencontohkan kebijakan Presiden Jokowi. Saat ini, Indonesia memang menjalin hubungan ekonomi erat dengan China. Namun, ketika Laut Natuna Utara diganggu China, maka Presiden Jokowi tegas berhadapan dengan China.

“Demikian juga terhadap Amerika. Kita bersahabat dengan Amerika, tapi  ketika militer Amerika, Australia dan Inggris itu bermanuver, Presiden Jokowi perlu menentang hal itu karena bisa memicu perlombaan senjata di Asia Pasifik,” ujarnya.[]